News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Penyandang Disabilitas "Dipecat", Berbagai Elemen di Kota Solok Dukung Alde Maulana

Penyandang Disabilitas "Dipecat", Berbagai Elemen di Kota Solok Dukung Alde Maulana

SOLOK - Dukungan terhadap Alde Maulana terus mengalir dari berbagai elemen. Alde diduga menjadi korban diskriminasi oleh pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) dan BPK Perwakilan Sumbar, karena "dipecat" sebagai pegawai BPK Perwakilan Sumbar, dengan alasan tidak sehat secara jasmani dan rohani. Padahal, Alde sudah lulus seleksi dan telah bekerja di BPK RI perwakilan Sumbar lebih dari setahun. Serta telah lulus Diklat Prajabatan dan akan dilantik sebagai PNS.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra Kota Solok, Ismael Koto, menegaskan pihaknya sangat mendukung dan sependapat dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang mendampingi Alde agar tetap mendapatkan haknya. Mantan birokrat senior yang juga Bakal Calon Walikota Solok tersebut berharap BPK Perwakilan Sumbar memulihkan kembali hak Alde Maulana.

"Saya mendukung dan sependapat dengan LBH Padang. Agar hak korban untuk menjadi PNS dipulihkan dan yang bersangkutan tetap menjadi PNS," ungkapnya.

Ismael Koto juga mengingatkan bahwa Alde Maulana sebelumnya sudah menjalani rangkaian seleksi yang sangat ketat. Serta, menempuh seleksi dari jalur disabilitas, bukan dari jalur umum.

"Alde sudah bekerja di BPK Perwakilan Sumbar lebih dari setahun. Jika dia dinyatakan tidak memenuhi syarat, seharusnya sudah sejak lama. Tapi mengapa di saat sudah lulus seleksi, sudah bekerja, dan sudah lulus prajabatan, baru dinyatakan tidak sehat secara jasmani dan rohani. BPK RI dan BPK Perwakilan Sumbar harus mengembalikan hak-hak yang bersangkutan," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua DPRD Kota Solok, Efriyon Coneng. Pria yang akrab disapa EC tersebut, menyesalkan tindakan BPK RI dan BPK Sumbar, yang dinilainya telah diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Menurutnya, sudah ada aturan bahwasanya penyandang disabilitas bisa menjadi apa saja tanpa diskriminasi.

"Kami sangat menyesalkan hal ini sampai terjadi. Padahal, sebelumnya sudah pernah ada kasus di Solok Selatan, terhadap seorang dokter gigi yang diberhentikan karena penyandang disabilitas. Setelah melewati rangkaian proses, akhirnya hak-hak yang bersangkutan dikembalikan. Karena itu, kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memberikan dukungan terhadap Alde. Sehingga, kebijakan BPK RI dan BPK Sumbar bisa ditinjau ulang dan hak-hak yang bersangkutan dikembalikan. Jangan ada lagi diskriminasi," tegasnya.

Sebelumnya, dugaan tindakan diskriminasi yang mengusik rasa kemanusiaan, dialami seorang warga Sumatera Barat. Alde Maulana (37), laki-laki penyandang disabilitas yang sebelumnya telah dinyatakan lulus menjadi CPNS di Badan Pemerika Keuangan (BPK) Perwakilan Sumbar akhirnya diberhentikan dengan hormat sebagai calon pegawai negeri sipil. Padahal, Alde Maulana sudah lebih satu tahun bekerja di BPK Perwakilan Sumbar dan telah lulus mengikuti prajabatan. Sehingga, hanya tinggal dilantik menjadi PNS. Namun, pada 9 Maret 2020 di kantor BPK Perwakilan Sumbar, korban menerima secara langsung Salinan Surat Keputusan Nomor:73/K/X-X.3/03/2020 bahwa pemberhentian dengan hormat sebagai calon pegawai negeri sipil. Pemberhentian dikarenakan korban dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melalui siaran persnya yang disampaikan Wendra Rona Putra, Sabtu (22/5/2020) menjelaskan, awalnya korban mengikuti seleksi CPNS BPK RI melalui formasi disabilitas dan dinyatakan lulus menjadi CPNS BPK RI 24 Januari 2019. Berdasarkan  Surat Keterangan Disabilitas, korban merupakan penyandang disabilitas  dengan raga lapang pandang kedua mata sebelah kiri buta 50 persen, lumpuh layu atau kaku tangan dan kaki sebelah kiri. Namun korban dapat melakukan aktivitas keseharian yang bisa dilakukan seperti berdiri, makan dan minum, mandi dan mencuci.

Kemudian koban diwajibkan mengikuti Diklat Orientasi ke-BPK-an di Medan pada bulan Maret 2019. Saat itu, korban mengalami sakit berupa kejang-kejang sehingga tidak mengikuti kegiatan selama dua hari. Hal ini dikarenakan aktivitas fisik berlebihan bagi korban berupa apel pagi dan apel sore tanpa adanya dispensasi bagi korbn yang merupakan penyandang diabilitas. Pasca selesainya Diklat Orientasi, korban kembali melanjutkan pekerjaannya di BPK Sumbar dan diminta oleh tim BPK Pusat untuk melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Gatot Soebroto Jakarta.

Pada 24 Februari 2020, BPK Perwakilan Sumatera Barat melaksanakan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji PNS Golongan III di Auditorium Lantai 4 Gedung A BPK Perwakilan Provinsi Sumatra Barat. Namun korban tidak memperoleh undangan pelantikan dan pengambilan sumpah/janji PNS.

Saat itu, BPK perwakilan Sumatra Barat menyampaikan bahwa orang BPK RI akan datang menjelaskan soal status korban. Pada 9 Maret 2020 dikantor BPK Perwakilan Sumbar, korban menerima secara langsung Salinan Surat Keputusan Nomor:73/K/X-X.3/03/2020 bahwa pemberhentian dengan hormat sebagai calon pegawai negeri sipil. Pemberhentian dikarenakan korban dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani.

Kontan saja korban kaget dan merasa kecewa. Impiannya untuk menjadi PNS dipatakan BPK RI. Korban lantas melaporkan dugaan diskrminasi terhadap dirinya kepada Komnas HAM Perwakilan Sumatera Bara dan Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat. Kasus ini kemudian diambil alih oleh Komnas RI dan Ombudsman RI.

Atas kejadian ini, LBH Padang menyampaikan pernyataan bahwa, tindakan BPK RI dan BPK Perwakilan Sumbar tergolong pada tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terhadap hak atas pekerjaan.

Menurut LBH Padang, dalam Pasal 143 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berbunyi : "Setiap orang dilarang menghalangi-halangi dan/atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak atas pekerjaan". Bahkan terdapat ancaman pidana bagi siapapun yang menghalang-halangi dan atau melarang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya.

LBH Padang menilai, tindakan tim BPK saat dilaksanakannya diklat orientasi tanpa memberikan dispensasi bagi korban untuk tidak mengikuti apel pagi dan sore tergolong pada  tindakan diskriminasi. Dalam pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas berasaskan pada perlakuan khusus dan perlindungan lebih sebagaimana dijamin dalam Pasal 2 huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

"Karena itu LBH Padang mendesak BPK Republik Indonesia untuk memulihkan hak korban dengan mengangkat dan melantik korban sebagai PNS di BPK Sumatera Barat. Juga mendesak Komnas HAM RI dan Ombudsman RI mendorong proses penyelesaian konflik di luar pengadilan agar hak-hak korban sesegera mungkin untuk dipulihkan menjadi abdi negara," sebut LBH Padang dalam siaran pernya bernomor :2/S-Pers/LBH-PDG/V/2020. (PN-001)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment