Para Pujangga Istana, Menguas Penguasa sebagai Sosok Luar Biasa Tanpa Cela
ALKISAH, ada seorang raja "celek", atau hanya satu matanya yang bisa melihat. Namun, dia tetap adalah seorang raja. Seorang penguasa yang senantiasa disanjung oleh oleh para Pujangga Istana. Yakni sebagai sosok luar biasa yang tanpa cela.
Bagi para Pujangga Istana, meski mata celek adalah kekurangan sang raja, namun dicarikanlah alibi dan standar baru agar celek itu bukan dianggap sebagai kekurangan. Dikaranglah kisah pembenaran, bahwa sang raja adalah orang yang mahir menembak. Penembak jitu bahkan. Karena itulah maka matanya celek. Sehingga, sang raja, karena sudah terbiasa memicingkan satu matanya, menjadi celek adalah suatu kelebihan.
Setiap saat, para Pujangga Istana senantiasa mengapit sang raja dengan segala puja dan puji. Dengan tanpa malu mengatakan bahwa kepemimpinan sang raja adalah kepemimpinan sempurna sepanjang sejarah negeri. Apapun yang dilakukan dan dikatakan sang raja, adalah "titah" dari tuhan. Karena sang raja dianggap penjelmaan dari tuhan yang maha benar.
Jika ada kurenah sang raja yang selama ini dianggap tabu, para Pujangga Istana segera menguas hal itu menjadi lukisan abstrak yang dikultuskan bernilai tinggi. Bahkan hingga tak ternilai harganya.
Kurenah tabu, dianggap sebagai letihnya sang raja dalam menjalankan tugas suci memimpin negeri. Semisal, saat sang raja tak sengaja kentut di tempat umum, para pujangga segera memoles. Kentut sang raja, yang sama dengan kentut rakyat jelata, juga memancar gas yang menyiksa hidung, dikatakan sebagai begitu letihnya sang raja dalam bekerja, untuk rakyat. "Bapak masuk angin, karena terlalu letih bekerja". Hasil kentut sang raja, berbeda dengan kentut rakyat jelata. Kentut sang raja adalah kentut beradab, bukan kentut Kutar (kurang taratik). "Apa yang kamu makan, sehingga kentutmu begitu menyiksa hidung", itu bagi rakyat jelata.
Dari mana asalnya para Pujangga Istana? Mereka bukanlah orang-orang yang ikut berjuang, mengangkat senjata, saat sang raja bergerilya di hutan rimba, saat kudeta konstitusional dulu. Mereka bukanlah orang yang mendampingi sang raja saat dihantam kekurangan saat masa "bagolak". Bukan orang yang mencarikan selimut saat sang raja kedinginan atau diserang nyamuk-nyamuk liar hutan rimba. Tapi, mereka adalah para Pujangga Istana di kepemimpinan raja-raja terdahulu. Termasuk di kepemimpinan raja sebelumnya yang ditumbangkan raja yang sekarang.
Berbekal kemampuan menguas kelas dewa, para Pujangga Istana begitu ahli dalam memaksimalkan lidahnya yang beracun. Menistakan raja-raja terdahulu, demi mendapat tempat di masa raja yang sekarang. Mem-bully para pengawal raja, yang sebelumnya setia mendampingi sang raja dalam keprihatinan dan serba kekurangan.
Sebagai penguas yang terlatih, para Pujangga Istana, dengan tanpa rasa malu, "malakok" dan seolah-olah menjadi bagian terpenting dari cita-cita besar sang raja.
Keberadaan para Pujangga Istana, membuat para kombatan di perang gerilya untuk mengkudeta raja sebelumnya, mulai terpinggirkan. Para kombatan juga tak begitu berminat dengan harta rampasan perang, apalagi dengan tanda jasa maupun penobatan sebagai pahlawan perang. Menyaksikan sang raja bertahta, dirasa sudah lebih dari cukup.
Tak hanya para kombatan, para pemukul genderang saat perang, juga tak lepas dari rayuan maut para Pujangga Istana. Mereka tidak lagi ingat dengan identitasnya. Mereka mulai nyaman dengan pakaian gagah dan segelintir fasilitas yang didapat. Tak ingat lagi dengan kompatriot sesama pemukul gendang. Lencana tanda jasa ikut membuat mereka silau.
Para Pujangga Istana tahu betul, bahwa para pengawal dan penabuh genderang perang, sebelumnya terbiasa dengan baju seadanya di hutan rimba. Sehingga, saat diberikan baju kebesaran, lengkap dengan lencana dan tanda jasa, mereka seperti orang kampung ke keramaian kota yang diberi sejumput kuasa.
Sang raja, yang kini punya hobi dan pergaulan baru di level elit, bagi para Pujangga Istana, dikuas secara maksimal sebagai pengemis terhormat. Sang raja dipoles dalam citra luar biasa dan dikemas sudah setara atau selevel dengan raja-raja besar di nusantara. Sang raja diroketkan setinggi langit, yang kalau jatuh, sang raja akan jatuh di antara bintang-bintang.
Padahal, bumi, air dan kekayaan alam negeri ini belum akan berkhianat terhadap penghuni di atasnya. Kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia negeri ini, berulangkali memberi bukti, bahwa hidup tetap bisa berjalan dengan normal dan cukup. Mengapa harus jadi peminta-peminta, jika tanah negeri ini, manusia di negeri ini, cinta negeri ini, adalah kekuatan ilahi yang tak tergantikan.
Semakin hari, barisan Pujangga Istana semakin ramai. Pergeseran nilai dan pelemahan prinsip semakin terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Sang raja dan keluarga kerajaan dikuas habis-habisan, sebagai sosok-sosok yang luar biasa dan tanpa cela. Muka tembok berganti dengan kolaborasi, mengemis berganti dengan diplomasi, relaksasi berganti dengan menjemput peluang.
Padahal, rakyat yang telah ikut berjuang bersama, butuh sentuhan. Begitu banyak usaha mikro dan kecil yang butuh sentuhan pejabat-pejabat kerajaan. Begitu luas bumi yang butuh penguatan pengolahan. Bukan malah memandang kritik dan saran sebagai kesalahan logika berfikir. (***)
Post a Comment