Putusan Sela yang Langka di Meja Hijau PHI
Di ruang sidang sederhana Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Gresik, beberapa tahun silam, Sugeng Darmawan masih ingat betul momen yang membuatnya berbeda dari banyak hakim ad hoc lain. Kala itu, di hadapannya berdiri dua pihak yang berseteru: seorang pekerja yang gajinya tertahan tiga bulan dan pengacara perusahaan yang tak berdaya menampik kenyataan. “Kami memang belum membayar upah,” ujar si pengacara dengan suara datar.
Sugeng menatap catatan di mejanya, lalu mengetuk palu. “Majelis akan memutus sebagian perkara ini terlebih dahulu,” katanya, memutuskan sesuatu yang jarang terjadi di lingkungan PHI—putusan sela. Dalam tempo singkat, ia memerintahkan perusahaan membayar upah tertunggak itu tanpa menunggu putusan akhir.
Langkah itu tergolong berani. Di ranah peradilan umum, putusan sela lazim ditemui dan bisa dimintakan banding. Namun di PHI, instrumen ini seperti burung langka di hutan hukum: diakui keberadaannya, tapi jarang muncul.
---
Menurut Sugeng, yang kini tak lagi aktif di pengadilan, perbedaan utama PHI dan peradilan umum justru terletak di situ. “Di PHI, putusan sela tidak bisa diajukan perlawanan,” katanya, mengutip Pasal 96 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Ketentuan ini memang dibuat untuk mempercepat penyelesaian sengketa. Di bidang hubungan industrial, waktu adalah segalanya—setiap hari yang berlalu tanpa kepastian bisa berarti hilangnya nafkah bagi pekerja atau terhentinya produksi bagi perusahaan.
Karena itu, sistem PHI dirancang agar perkara tak berlarut-larut. Banding hanya dapat diajukan terhadap putusan akhir, bukan terhadap putusan sela. Prinsipnya: “cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.”
Namun di balik asas itu, praktiknya tak sesederhana yang tertulis. Banyak hakim PHI yang enggan mengeluarkan putusan sela, bukan karena takut, tetapi karena jenis perkara di meja mereka biasanya tak bisa dipisahkan. “Sebagian besar kasus di PHI berkaitan erat dengan pembuktian,” ujar Sugeng. “Kalau belum jelas hubungan kerjanya, bagaimana kita bisa langsung memutus soal upah?”
---
Penjelasan Sugeng itu sejalan dengan temuan berbagai peneliti hukum ketenagakerjaan. Dari ratusan putusan PHI yang terekam di basis data Mahkamah Agung, hanya segelintir yang mencantumkan frasa putusan sela. Mayoritas majelis hakim memilih untuk menggabungkannya ke dalam putusan akhir, dibacakan bersamaan dengan amar utama perkara.
Praktik itu bisa dimaklumi. Misalnya, dalam sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK), hakim harus menilai banyak aspek: apakah pekerja masih berstatus aktif, apakah perusahaan memiliki alasan sah untuk memutus hubungan kerja, dan apakah pekerja berhak atas pesangon atau tidak. Dalam situasi semacam itu, putusan sela justru bisa membingungkan jika dikeluarkan di tengah jalan.
“Kalau hakim memutus sebagian tapi ternyata di akhir hubungan kerjanya dianggap batal, bisa tumpang tindih,” kata Ratna Handayani, pengajar hukum perburuhan di sebuah PTS di Jakarta. Ia menyebut, “putusan sela di PHI itu seperti pisau bermata dua—cepat menolong pekerja, tapi berisiko jika tidak hati-hati.”
---
Meski begitu, ada kalanya putusan sela menjadi jalan paling adil. Contohnya dalam kasus Sugeng tadi: perusahaan sendiri mengakui kesalahannya. “Kalau sudah jelas belum membayar upah, buat apa menunggu proses panjang?” katanya.
Bagi Sugeng, keadilan bukan hanya soal prosedur, melainkan juga soal keberanian mengambil keputusan di saat yang tepat. Ia mengaku mengeluarkan putusan sela itu justru untuk menjaga marwah PHI sebagai pengadilan yang berpihak pada keadilan substantif.
Sikap seperti itu memang langka, tapi tidak tanpa dasar. Pasal 96 UU PPHI tidak melarang hakim mengeluarkan putusan sela—ia hanya membatasi agar putusan itu tidak bisa diganggu gugat melalui banding atau perlawanan. Artinya, jika fakta hukum sudah terang, hakim boleh memutus sebagian perkara tanpa menunggu akhir.
Dalam konteks ini, tindakan Sugeng bisa dilihat sebagai wujud diskresi yudisial yang progresif. Ia menggunakan celah hukum untuk mempercepat penyelesaian sengketa tanpa melanggar asas hukum acara. “Putusan sela itu bentuk empati hukum,” katanya. “Ia lahir dari kesadaran bahwa keadilan bagi pekerja tak boleh ditunda.”
---
Namun, langkah seperti itu juga menuntut tanggung jawab besar. Tanpa kecermatan, putusan sela bisa disalahgunakan untuk menekan salah satu pihak. Karena itu, Ratna berpendapat, perlu ada pedoman teknis dari Mahkamah Agung agar praktik putusan sela di PHI tidak bergantung sepenuhnya pada keberanian individu hakim. “Hukum acara harus memberi ruang, tapi juga pagar,” ujarnya.
Usulan itu sejalan dengan semangat reformasi peradilan hubungan industrial yang tengah didorong belakangan ini. Kementerian Ketenagakerjaan bersama Mahkamah Agung dikabarkan sedang menyiapkan pembaruan regulasi turunan UU PPHI agar lebih adaptif terhadap dinamika hubungan kerja modern. Salah satu wacana yang muncul: memperjelas prosedur dan kekuatan hukum putusan sela di PHI.
---
Di tengah semua perdebatan itu, kisah Sugeng tetap menjadi pengingat bahwa keadilan tidak selalu menunggu akhir perkara. Ia bisa dimulai dari keputusan sederhana—ketukan palu yang memastikan seorang buruh menerima haknya untuk makan esok hari.
“Bagi saya, putusan sela bukan tentang kehebatan hakim,” ujar Sugeng sambil tersenyum. “Tapi tentang keberanian untuk tidak menunda keadilan.”
Dalam dunia peradilan yang sering kali terjebak formalitas, sikap seperti itu terasa segar. Putusan sela di PHI mungkin langka, tapi selama masih ada hakim yang berani menempuh jalur cepat untuk menegakkan hak, burung langka itu belum punah.
(***)
Oleh: Muhibbullah Azfa Manik,
Dosen dan Pengamat Ketenagakerjaan
Post a Comment