Prof. Djohermansyah Djohan: Pemangkasan TKD 2026 Bentuk Ketidakadilan Baru dalam Hubungan Pusat–Daerah
Jakarta, PATRONNEWS.co.id — Rencana pemerintah memotong dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 dinilai sebagai langkah yang melanggar semangat konstitusi dan berpotensi memperlebar jurang ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah.
Pandangan ini disampaikan oleh Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan pakar otonomi daerah, dalam wawancara bersama Radio Trijaya FM pada Selasa, 14 Oktober 2025.
TKD Adalah Hak Daerah, Bukan Kebaikan Pusat
Menurut Prof. Djo, dana TKD memiliki landasan hukum yang kuat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). TKD merupakan hak konstitusional daerah dan sekaligus kewajiban pemerintah pusat dalam menjalankan prinsip keadilan fiskal.
“Sekarang namanya TKD diatur dalam Undang-Undang HKPD. Itu sebetulnya hak daerah dan kewajiban pusat untuk memberikan. Karena kalau pusat memberi pekerjaan kepada daerah, maka daerah harus punya kemampuan membiayai urusannya,” tegas Prof. Djo.
Namun, lanjutnya, proporsi pembagian dana masih sangat timpang. Dari total APBN, pemerintah pusat menyerap sekitar 80 persen, sementara 546 daerah otonom di Indonesia hanya mendapatkan 20 persen. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan pemangkasan yang dianggap tidak adil dan tidak selaras dengan amanat Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa hubungan keuangan pusat–daerah harus dilaksanakan secara “adil dan selaras.”
Dampak Langsung: Pelayanan Publik Terancam Lumpuh
Pemotongan TKD yang mencapai Rp 50 triliun pada 2025 dan berpotensi naik menjadi Rp 200 triliun di 2026, menurut Prof. Djo, akan berdampak langsung terhadap kemampuan daerah dalam memberikan layanan publik dasar.
“Kalau pusat memangkas besar-besaran, itu akan mengganggu pelayanan publik. Jalan rusak tidak bisa diperbaiki, obat-obatan di puskesmas menipis, gaji pegawai dan tunjangan ASN daerah pun bisa terganggu,” jelasnya.
Fakta di lapangan menunjukkan, lebih dari 80 persen daerah di Indonesia memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah, sehingga mereka sangat bergantung pada transfer dana dari pusat.
“Yang kuat PAD-nya itu hanya sekitar 20 persen — seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau, Surabaya, dan Tangerang Selatan. Sementara sisanya lemah. Kalau pusat memotong dana secara drastis, ya tentu daerah-daerah itu akan lumpuh,” ujar Prof. Djo.
Ia mencontohkan, akibat pemotongan pada tahun 2025, sejumlah daerah seperti Kabupaten Pati terpaksa menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk menutup defisit, dan lebih dari 130 daerah lain juga mengikuti langkah serupa.
Dana Bagi Hasil juga Dikeluhkan: “Hak Daerah yang Ditahan”
Selain soal TKD, Prof. Djo juga menyoroti keluhan pemerintah daerah terkait dana bagi hasil (DBH) yang kerap tertahan di pemerintah pusat. Padahal, menurutnya, DBH adalah hak daerah yang memiliki sumber daya alam seperti hutan, minyak, gas, atau mineral.
“Ada daerah mengeluh karena dana bagi hasil ditahan. Padahal itu hak mereka. Kalau ini terus terjadi, saya khawatir akan muncul ketegangan baru antara pusat dan daerah,” ujarnya.
Ia mengingatkan, pemerintahan baru tidak akan mampu berjalan stabil tanpa dukungan daerah, karena “pemerintahan nasional tidak bisa dijalankan hanya oleh Jakarta.”
Masalah Struktural: Otonomi yang Belum Mandiri
Prof. Djo juga menyinggung masalah mendasar yang masih menghantui pelaksanaan otonomi daerah sejak diberlakukan tahun 1999.
“Kita harus jujur. Banyak daerah otonom belum mandiri secara fiskal. Dari 546 daerah, sekitar 200 di antaranya dibentuk tanpa kesiapan ekonomi yang cukup,” terangnya.
Selain lemahnya PAD, Prof. Djo menilai banyak daerah baru lahir karena kepentingan politik, bukan kebutuhan administratif atau ekonomi. Akibatnya, mereka justru membebani keuangan nasional dan bergantung penuh pada dana pusat.
“Kalau PAD-nya cuma 5–10 persen, 90 persennya bergantung ke Jakarta, itu bukan otonomi, itu ketergantungan,” tegasnya.
Perlu Penataan Ulang dan Likuidasi DOB yang Tidak Mampu
Prof. Djo mengusulkan agar pemerintah melakukan penataan ulang daerah otonom baru (DOB), bahkan bila perlu melikuidasi daerah yang tidak mampu secara fiskal agar tidak terus menjadi beban negara.
“Penataan ulang itu penting. Daerah otonom yang tidak mampu sebaiknya dikembalikan statusnya, bukan lagi daerah otonom. Tapi yang punya potensi harus dibina dan diperkuat,” sarannya.
Evaluasi dan Koreksi di APBN 2026
Menutup wawancara, Prof. Djo berharap pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi APBN 2026, khususnya terkait dampak pemotongan TKD terhadap fiskal daerah.
“Harus ada jadwal dan skema yang jelas. Evaluasi semester I APBN 2026 nanti penting. Kalau posisi keuangan membaik, maka di semester II pusat harus menambah dukungan bagi daerah-daerah yang fiskalnya lemah,” pungkasnya.
Menurutnya, arah kebijakan fiskal tidak boleh tergesa-gesa dan harus mempertimbangkan kemampuan riil daerah agar tidak menimbulkan ketimpangan baru dan membahayakan keberlangsungan pelayanan publik.
Keadilan Fiskal Harus Dikembalikan ke Rel Konstitusi
Pernyataan Prof. Djohermansyah Djohan menegaskan kembali pesan penting: otonomi daerah bukan sekadar pembagian urusan pemerintahan, tapi juga keadilan dalam pembagian keuangan.
Jika hubungan fiskal antara pusat dan daerah tidak dijalankan secara adil dan selaras, maka makna otonomi akan hilang, dan yang tersisa hanyalah sentralisasi gaya baru. (***)
Post a Comment