News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Prof. Djohermansyah Djohan: Pemangkasan TKD 2026 Bentuk Sentralisasi Baru yang Melemahkan Otonomi Daerah

Prof. Djohermansyah Djohan: Pemangkasan TKD 2026 Bentuk Sentralisasi Baru yang Melemahkan Otonomi Daerah

Jakarta, PATRONNEWS.co.id — Rencana pemerintah memangkas Transfer Ke Daerah (TKD) pada APBN tahun anggaran 2026 menimbulkan keresahan di kalangan kepala daerah di seluruh Indonesia.

Kebijakan ini dinilai sebagai langkah mundur dalam pelaksanaan otonomi daerah dan berpotensi menimbulkan ketimpangan baru antara pemerintah pusat dan daerah.

Dalam wawancara eksklusif bersama Radio Elshinta, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., menegaskan bahwa pemotongan dana transfer tersebut adalah bentuk “sentralisasi gaya baru” yang bertentangan dengan semangat reformasi dan amanat konstitusi.

“Kalau dana transfer ke daerah dipotong dalam jumlah besar, otomatis daerah akan kelimpungan. Sekarang saja 80 persen dari 514 daerah di Indonesia tidak mandiri secara fiskal. Mereka hidup dari dana transfer. Kalau dipangkas sampai ratusan triliun, bagaimana bisa jalan urusan pemerintahan di daerah?” ujar Prof. Djo dalam wawancara khusus Radio Elshinta Jakarta, Jumat (10/10/2025).

Pusat Tidak Adil, Tidak Selaras dengan Konstitusi

Menurut Prof. Djo, kebijakan fiskal nasional saat ini tidak mencerminkan prinsip keadilan dan keselarasan hubungan keuangan pusat-daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.

Ia menyebut, distribusi keuangan nasional masih sangat timpang: 80 persen APBN dikuasai pemerintah pusat, sementara hanya 20 persen dibagi ke seluruh 546 daerah otonom.

“Ini tidak adil dan tidak selaras. Di negara lain yang sistem fiskalnya sehat, pembagian antara pusat dan daerah bisa 50 banding 50. Tapi kita masih terlalu ‘Jakarta-sentris’,” tegasnya.

Prof. Djo menilai alasan pemerintah bahwa pemangkasan dilakukan karena rendahnya penyerapan anggaran daerah tidak berdasar. Ia justru mengungkapkan bahwa penyerapan belanja kementerian/lembaga pusat pun baru sekitar 55 persen hingga Oktober, sehingga tidak tepat jika daerah dijadikan kambing hitam.

“Kalau pusat butuh dana tambahan untuk membiayai program prioritasnya, jangan daerah yang dikorbankan,” ujarnya.

ASN dan Pelayanan Publik Akan Tertekan

Pemangkasan TKD, lanjut Prof. Djo, akan langsung memukul pegawai ASN daerah yang bergantung pada TPP atau tunjangan kinerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bagi banyak ASN, gaji pokok yang kecil hanya cukup untuk kebutuhan dasar, sedangkan TPP menjadi penopang utama kesejahteraan.

“ASN di daerah itu rata-rata menerima gaji pokok antara dua hingga lima juta rupiah. Yang membuat mereka bertahan adalah TPP. Kalau tunjangan ini dipotong, dampaknya bukan hanya ekonomi, tapi juga psikologis dan produktivitas kerja,” jelasnya.

Selain itu, lemahnya kemampuan fiskal daerah akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan publik, karena sebagian besar urusan pemerintahan — pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sosial, tenaga kerja — dikelola oleh daerah.

“Kalau uangnya tidak ada, bagaimana kepala daerah bisa memperbaiki rumah sakit, jalan rusak, atau jembatan putus? Jangan nanti masyarakat menyalahkan bupati atau wali kota, padahal akar masalahnya di kebijakan pusat,” ujar Prof. Djo.

Kemendagri Harus Membela Daerah, Bukan Sekadar Jadi Juru Bicara Pusat

Menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri yang meminta gubernur tidak pesimis terhadap kebijakan fiskal baru, Prof. Djo mengingatkan bahwa fungsi Kemendagri adalah membina dan membela daerah, bukan sekadar menyampaikan pesan dari pemerintah pusat.

“Mendagri itu pembina pemerintahan daerah. Tugasnya memperjuangkan kepentingan daerah di hadapan Kementerian Keuangan, bukan hanya menyampaikan perintah pusat. Kalau tidak, nanti daerah kehilangan legitimasi di mata rakyat,” tandasnya.

Ia menilai kepala daerah yang baru dilantik pada awal 2025 kini menghadapi beban berat, karena harus menepati janji politik dalam situasi fiskal yang makin terbatas. “Rakyat bisa kecewa dan menganggap kepala daerah tidak mampu, padahal sumber masalahnya bukan di daerah, tapi di pusat,” tegasnya.

Ironi: Daerah Diminta Efisien, Pusat Justru Boros

Dalam bagian yang lebih tajam, Prof. Djo mengkritik ketidakkonsistenan pemerintah pusat yang menyerukan efisiensi kepada daerah, namun justru memperbesar struktur birokrasi di tingkat nasional.

“Pusat minta daerah hemat, tapi di saat yang sama postur kabinet justru makin gemuk. Lembaga-lembaga baru dibentuk, jumlah pejabat meningkat, dan banyak menteri punya tiga wakil menteri yang semuanya digaji dan mendapat insentif dari negara. Ini ironi,” ujarnya.

Menurutnya, pesan efisiensi hanya akan diterima dengan baik bila pemerintah pusat memberi teladan penghematan yang nyata, bukan sekadar wacana. “Jangan suruh daerah berhemat sementara pusat memperluas birokrasi dan menambah pos anggaran untuk jabatan-jabatan politis,” tambahnya.

Solusi: Efisiensi Cerdas dan Kejujuran kepada Publik

Meski kritis, Prof. Djo tetap mendorong pemerintah daerah untuk melakukan langkah efisiensi secara rasional dan cerdas. Ia menyarankan empat langkah utama:

1. Menghemat perjalanan dinas dan rapat – gunakan teknologi daring bila memungkinkan.

2. Memotong belanja konsumtif seperti fasilitas berlebih, jamuan, dan atribut seremonial.

3. Meningkatkan transparansi PAD, tanpa menambah beban rakyat.

4. Jujur kepada rakyat dan ASN mengenai sumber keterbatasan anggaran.

“Kepala daerah harus bicara jujur. Katakan bahwa dana dari pusat berkurang, PAD kecil, dan kita harus fokus bertahan. Kejujuran seperti ini akan membangun kepercayaan publik,” katanya.

Peringatan: Otonomi Daerah di Ujung Tanduk

Menutup wawancara, Prof. Djo menyampaikan peringatan keras agar pemerintah tidak meremehkan dampak politik dan sosial dari kebijakan ini.

Jika tidak dikoreksi, ia menilai otonomi daerah akan tergerus perlahan, dan sistem pemerintahan akan kembali sentralistik.

“Kalau kebijakan ini dibiarkan, akan terjadi kemunduran besar. Pemerintahan menjadi sentralistik, kualitas layanan publik turun, dan pembangunan daerah melambat. Negara ini bukan hanya Jakarta, tapi pusat dan 546 daerah otonom yang harus diperlakukan adil,” pungkasnya. (***)


Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment