Bau Amis Transaksional Jabatan di Pemkab Solok Merebak, Barisan "Birokrat Pejuang" Terpinggirkan
Solok, PATRONNEWS.co.id - Kondisi birokrasi pemerintahan di Kabupaten Solok semakin memanas. Kemenangan Jon Firman Pandu, SH dan H. Candra, SH.I pada Pilkada Kabupaten Solok 27 November 2024, dianggap sebagai buah perlawanan terhadap "dinasti" Bupati Solok sebelumnya, Capt. Epyardi Asda, M.Mar, melalui pasangan Emiko-Irwan Afriadi. Meski berhasil menumbangkan "rezim" Epyardi, barisan "birokrat pejuang" JFP-Candra, tidak serta-merta memiliki peran sentral sebagai think tank di pemerintahan. Justru, para "pejabat lama" malah mampu menancapkan kuku lebih dalam. Parahnya, terpinggirkannya barisan "birokrat pejuang" tersebut, disinyalir karena diduga adanya praktik transaksional jabatan. Diduga, para "birokrat pejuang" tersebut tidak ikut melaksanakan upaya transaksional, meskipun saat proses Pilkada 2024 lalu, sudah berkorban uang hingga ratusan juta rupiah.Meski praktik dugaan jual beli jabatan dan dugaan gratifikasi itu ibarat kentut, baunya ada tapi sulit dibuktikan siapa yang kentut, namun, bau amisnya menyengat hidung. Bau amisnya membuat perut mual dan ingin muntah. Tudingan, tentu saja langsung mengarah ke Bupati Solok Jon Firman Pandu, istri beserta keluarga istrinya. Namun, tudingan itu hanya berwujud "gunjingan" para rakyat jelata di kedai-kedai kopi. Menjadi penghias gunjingan utama, "Kabupaten Solok kini punya Bupati Konten"! Tentang Jon Firman Pandu dan istrinya Kurniati, yang wara-wiri di Jakarta dan sesekali mengunjungi masyarakat di akar rumput.
Di kalangan pejabat dan ASN Pemkab Solok, terutama yang pada Pilkada 2024 lalu "menentukan sikap" berada di barisan "birokrat pejuang" JFP-Candra, "lagu dan musiknya" tak kalah getir. Niat hati ingin menjadi "sesuatu" yang posisi "istimewa" layaknya para think tank di periode-periode pemerintahan sebelumnya, ternyata, perjuangan mereka di Pilkada Kabupaten Solok 2024, sama sekali tak dihargai. Sebanyak tiga orang, yakni Effia Vivi Fortuna Adhadi, ST, MM (Kadis PUPR), Elafki (Kasat Pol PP Damkar) dan Romi Hendrawan (Kadis DPMM), mendapat perlakuan yang sama seperti para birokrat yang berlawanan dengan JFP-Candra. Vivi, Elafki dan Romi tetap mengikuti Jobfit seperti pejabat lainnya, termasuk dua calon pejabat impor dari Kota Solok dan Kabupaten Solok Selatan. Bahkan, Muhammad Djoni, S.Sos, MM, dilakukan "Evaluasi Khusus" oleh Panitia Seleksi (Pansel) JPT Pratama Pemkab Solok yang diketuai oleh Drs. Bustamar, MM.
Nama Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Solok, Medison, S.Sos, M.Si, langsung menjadi sorotan. Medison disebut-sebut sebagai "pengendali" untuk "mengamankan" para pejabat yang loyal ke mantan Bupati Capt. Epyardi Asda. Dalam laporan 7.topone.id, sejumlah warga menyampaikan kritik tajam terhadap Medison, yang dinilai "bermuka dua" dan mementingkan kelangsungan kariernya dengan bermain aman secara politik.
"Gaya mainnya ke Epyardi Asda dulu, sekarang ke Jon Firman Pandu. Medison ini memang cerdik dalam menyelamatkan jabatan," ujar seorang warga di Solok yang enggan disebutkan namanya, baru-baru ini.
Masyarakat berharap agar Bupati Solok Jon Firman Pandu bersama Wakil Bupati Candra bersikap tegas dan objektif dalam mengevaluasi posisi Medison sebagai Sekda. Pasalnya, banyak yang menilai bahwa Medison dulunya berada di kubu lawan, namun kini terlihat "merapat" setelah kekuasaan berganti.
"Dulu dia (Medison) menggerakkan ASN untuk mengalahkan Jon Firman Pandu–Candra, sekarang merapat setelah mereka menang. Beginikah mental seorang Sekda?," ucap warga dengan nada kecewa.
7.topone.id, menyatakan Sekda Medison, S.Sos, M.Si, adalah panglima birokrat yang mendukung Emiko dan Irwan Afriadi. Bahkan, Medison, S.Sos, M.Si dituding 7.topone.id sebagai pejabat bermuka tembok, karena ketika Emiko-Irwan kalah, justru merapat ke JFP-Candra.
Nama Medison juga dikaitkan dengan penempatan Ny. Kurnia Jon Firman Pandu (istri Bupati Solok) sebagai Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokomp). Padahal, yang bersangkutan juga menjabat sebagai Ketua TP-PKK Kabupaten Solok, yang menimbulkan dugaan konflik kepentingan.
"Dia adalah otak di balik penempatan posisi strategis untuk orang-orang dekat pimpinan," kata sumber lain yang ikut mengkritisi kebijakan tersebut.
Selain Sekda Medison, Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama Pemkab Solok, Drs. Bustamar, MM, juga tak luput dari sorotan. Bustamar menegaskan bahwa dalam kepemimpinan Bupati Jon Firman Pandu, SH dan Wakil Bupati H. Candra, SH.I tidak akan mengakomodasi kepentingan suatu kelompok, termasuk kepada para "birokrat pejuang" atau yang mendukung JFP-Candra di Pilkada 27 November 2024 lalu. Menurutnya, tidak ada istilah politik balas budi di pemerintahan JFP-Candra.
Bustamar juga menyatakan, sejumlah isu yang berkembang terkait ketegangan birokrasi dan tudingan marginalisasi terhadap kelompok "birokrat pejuang" pendukung JFP-Candra, justru dipandang sebagai narasi politis yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Menurutnya, pemerintahan JFP-Candra mengedepankan prinsip birokrasi modern dalam rangka menata birokrasi berdasarkan kinerja, integritas, dan kapasitas aparatur, bukan memandang afiliasi politik.
"Tidak ada politik balas dendam (dan politik balas budi) di Kabupaten Solok. Tidak ada perlakuan istimewa, semuanya ikut sesuai peraturan yang berlaku. Dalam prosesnya, tidak memandang dari sudut politik. Proses evaluasi tidak berpihak pada kelompok mana pun, melainkan diterapkan secara adil dan menyeluruh kepada semua pejabat," tegasnya.
Pernyataan Drs. Bustamar, MM, tersebut tentu bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya pada Pilkada Kabupaten Solok 2024 lalu dan saat puluhan tahun menjadi ASN dan pejabat di Pemkab Solok. Bahkan, Bustamar yang juga Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kuncie, Kecamatan X Koto Diateh, seperti tidak bisa "melindungi" kemenakannya sendiri, yakni Asisten 3 Editiawarman agar tetap menjabat eselon II Pemkab Solok. Seperti halnya saat Pilkada Kabupaten Solok tahun 2010, Bustamar menjadi barisan "birokrat pejuang" Bupati Incumbent saat itu Gusmal, SE, MM yang berpasangan dengan kakak kandung Epyardi Asda, yakni Edi Erizon. Namun, saat Syamsu Rahim dan Desra Ediwan Anantanur memenangi Pilkada 2010, Bustamar dan barisan "birokrat pejuang" lainnya justru "tabang ambue" atau melarikan diri ke sejumlah daerah di Sumbar bahkan hingga ke luar provinsi. Para pejabat yang "terdiaspora" tersebut, baru kembali ke Pemkab Solok setelah Gusmal dan Yulfadri Nurdin memenangi kontestasi Pilkada Kabupaten Solok 2015. Hal ini, bertolak belakang dengan barisan birokrat pejuang SR-Desra, yang dikenal dengan nama Team Bravo. Mereka "bebas memilih" jabatan sesuai dengan keinginan, syarat dan latar belakangnya.
Bagaimana semestinya penempatan para "birokrat pejuang" di pemerintahan? Merujuk pada sejarah di pemerintahan Kabupaten Solok selama 25 tahun terakhir, para "birokrat pejuang" di Kabupaten Solok menjadi think tank bagi Bupati dan Wakil Bupati setelah kontestasi Pilkada. Lalu, apa yang dimaksud think tank dan siapa-siapa saja yang pernah menjadi think tank di Kabupaten Solok dari kalangan birokrat?
Think tank adalah organisasi atau kumpulan orang yang melakukan penelitian dan analisis tentang isu-isu politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain, dengan tujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan ke pimpinan. Think tank biasanya terdiri dari ahli-ahli yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang tertentu.
Tujuan think tank terbagi atas tiga hal, yakni pertama, penelitian dan analisis terhadap isu-isu yang relevan dengan kebijakan dan opini yang berkembang di publik. Kedua, memberikan rekomendasi kebijakan setelah melakukan analisis dari berbagai data. Ketiga, memberikan pengaruh terhadap kebijakan, dengan memberikan informasi dan analisis yang akurat.
Jenis-jenis think tank terbagi atas tiga. Yakni, pertama, think tank independen, yang tidak terkait dengan partai politik atau organisasi tertentu. Kedua, think tank partisan, atau think tank yang terafiliasi dengan partai politik tertentu.
Ketiga, think tank universitas, yakni think tank yang melakukan penelitian dan analisis dari sisi akademis.
Lalu, bagaimana sejarah dan kiprah think tank di Kabupaten Solok dalam 25 tahun terkahir, serta apa yang membedakannya dengan keberadaan Sekda sebagai panglima di pemerintahan?
Pada tahun 2000, Gamawan Fauzi dipilih untuk periode kedua menjadi Bupati Solok. Untuk pertama kalinya, Kabupaten Solok memiliki Wakil Bupati, yakni almarhum Prof. Elfi Sahlan Ben. Gamawan Fauzi - Elfi Sahlan Ben tercatat memiliki tiga orang Sekda, yakni Rusdi Lubis, Syafril Chatib dan Gusmal. Para pejabat yang menjadi think tank saat itu adalah Benny Mukhtar, Sudirman Gani, dan Zul Evi Astar.
Pada tahun 2005, Dr. H. Gusmal, SE, MM Dt Rajo Lelo menjadi pemenang Pilkada langsung pertama di Kabupaten Solok, berpasangan dengan Drs. Desra Ediwan Anantanur, MM. Tercatat, Gusmal - Desra Ediwan memiliki dua orang Sekda, yakni Bagindo Suarman, dan Asrizal Mukhtar. Para pejabat yang menjadi think tank adalah Bustamar, Dusral, dan Taufik Efendi,
Pada tahun 2010, Syamsu Rahim menggandeng Desra Ediwan Anantanur untuk mengalahkan petahana Gusmal yang berpasangan dengan Edi Erizon. SR-Desra tetap "memakai" Sekda Asrizal Mukhtar dan setelah Asrizal pensiun digantikan oleh Muhammad Saleh. Tercatat, think tank SR-Desra adalah Taufik Efendi, Khairi Yusri, Indra Merdi, dan Dedi Permana.
Pada tahun 2015, Gusmal menggandeng Yulfadri Nurdin dan berhasil "back to back" di Kabupaten Solok. Gusmal-Yulfadri tetap memakai Sekda sebelumnya, M. Saleh, hingga M. Saleh pulang kampung menjadi Sekda di Kabupaten Pasaman. Posisinya kemudian digantikan oleh Aswirman. Tercatat, think tank Gusmal-Yulfadri adalah Dusral, Syafrizal, dan Muhammad Djoni.
Pada Pilkada 2020, Capt. Epyardi Asda, M.Mar menggandeng Jon Firman Pandu, SH dan memenangkan Pilkada Kabupaten Solok. Sekda masih dijabat Aswirman hingga pensiun dan dilanjutkan dengan Medison. Think tank Asda-Pandu yang terlihat sangat menonjol adalah Syahrial, Zulhendri, dan Desmalia.
Pada 2024, tampuk pemerintahan beralih ke Jon Firman Pandu, SH dan H. Candra, SH.I. Hingga saat ini, Sekda masih dijabat Medison. Namun, dengan eskalasi politik yang "liar" saat, belum terlihat satupun para pejabat Pemkab yang memerankan think tank. Termasuk, para "birokrat pejuang" seperti Muhammad Djoni, Effia Vivi Fortuna, Elafki, maupun Romi Hendrawan. Sehingga, terkesan Sekda Medison masih "merajalela" mengurus pemerintahan dan kebihakan JFP-Candra.
Selain itu, sejatinya JFP-Candra memiliki think tank dari afiliasi Parpol dan barisan tokoh masyarakat. Namun, peran mereka hingga saat ini belum nampak. Think tank dari afiliasi parpol di antaranya Ketua Tim Pemenangan Zamroni, bersama sejumlah kader Parpol pengusung dari Gerindra seperti Iskan Nofis, Tasman, Hafni Hafiz, dan Boy Falma. Kemudian dari PKS yakni Nosa Ekananda, Nazar Bakri dan Almetrizon.
JFP-Candra juga memiliki barisan mantan birokrat yang berpihak nyata kepada mereka di Pilkada 27 November 2024 lalu. Yakni Gamawan Fauzi, Gusmal, Syamsu Rahim, Ahmad Rius, Bachtul, hingga Bustamar.
Saat ini kondisi birokrasi pemerintahan di Kabupaten Solok semakin hari makin memanas. JFP-Candra yang hanya didukung secara terang-terangan oleh "segelintir" birokrat saja di jabatan eselon II, seperti masih mencari pakem. Tercatat, pejabat eselon II yang mendukung JFP-Candra adalah Kepala Dinas Perhubungan Muhammad Djoni, S.STP, M.Si, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Effia Vivi Fortuna Adhadi dan suaminya Kepala Dinas Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran (Satpol PP Damkar) Elafki, S.Pd, MM, dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Nagari (DPMN) Romi Hendrawan, S.Sos, M.Si.
Birokrasi panas, dimulai sejak pergeseran dan pelantikan sejumlah pejabat eselon III Pemkab Solok, terutama dilantiknya istri Jon Firman Pandu, yakni Kurniati sebagai Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Kabag Prokomp) yang juga Ketua TP PKK Kabupaten Solok. Kemudian berlanjut dengan digesernya Kabag Umum Indra Muchsis yang digantikan oleh Hendri.
Beberapa waktu kemudian, Pemkab Solok melalui Bupati Jon Firman Pandu meminta sejumlah pejabat eselon II untuk mundur dari jabatannya. Sebanyak 7 orang pejabat eselon II yang merupakan kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) "pasrah" dan menandatangani surat pengunduran diri dari jabatan. Namun, dua orang kepala OPD yakni Asisten III Editiawarman dan Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Retni Humaira, menolak mundur!
Namun, hanya berselang beberapa hari, Pemkab Solok justru mengirimkan undangan uji kompetensi terhadap 15 pejabat eselon II dari 31 jabatan eselon II yang ada di Pemkab Solok. Bahkan, sebanyak 2 pejabat impor juga diundang untuk mengikuti Jobfit (pengepasan jabatan).
Rangkaian proses transisi yang tak pasti tersebut, membuat Kabupaten Solok saat ini dinilai sudah menuju birokrasi otoriter bermuka tembok yang dilakukan oleh para birokrat yang ingin mempertahankan oligarki. Yakni dengan mengeliminasi (menghilangkan) jasa para "birokrat pejuang". Padahal, para pejuang tersebut, telah mengambil risiko besar. Jika JFP-Candra kalah di kontestasi Pilkada 2024 lalu, mereka lah yang pertama kali "dihabisi".
Tim Pansel JPT Pratama Pemkab Solok terdiri dari Drs. Bustamar, MM, Dr. Devi Kurnia, Medison, S.Sos, M.Si, Dr. Is Prima Nanda, Dr. Sudarman. Sebanyak 16 jabatan tersebut, dua posisi dikabarkan sudah "melarikan diri" ke daerah lain. Yakni Kepala Disduk Capil Ricky Carnova yang mengikuti Selter di Solok Selatan dan Kadis Pariwisata Armen, AP, yang ikut Selter di Pesisir Selatan. (PN-001)
Post a Comment