Apakah para ASN & Pensiunan Penunggak Hutang KPRI Sudah Mati Rasa?
"Ingatlah, dunia ini hanya sementara. Tidak ada hutang yang bisa dibawa mati. Di liang kubur nanti, akan ada malaikat yang menagih, bukan lagi pengurus koperasi. Hutang tetaplah hutang. Ia akan menunggu untuk diselesaikan, entah di dunia atau di akhirat."
Apakah bapak dan ibu ASN yang berhutang di KPRI, namun hingga kini tak kunjung membayar, sudah mati rasa?
Apakah hati bapak dan ibu sudah sedemikian beku, sehingga tega menghilangkan miliaran rupiah hak rekan-rekan ASN lain yang patuh memenuhi kewajibannya?
Lebih ironis lagi, sebagian di antara penunggak itu justru mereka yang sekarang menduduki kursi pejabat eselon II, III, bahkan IV. lantang berbicara soal loyalitas, disiplin, dan pengabdian. Ketika giliran menunaikan kewajiban pada koperasi yang menjadi tumpuan bersama, malah bersembunyi di balik seribu alasan. Bahkan ada yang masih sok percaya diri tampil di depan pimpinan, berpura-pura pintar, penuh teori manis, padahal di belakang namanya tercatat jelas sebagai penunggak hutang. Bagaimana lidah itu bisa fasih bicara integritas, bila kewajiban sendiri tidak ditunaikan?
Di manakah rasa malu itu? Di manakah rasa kemanusiaan terhadap sesama ASN yang masih mempercayai koperasi sebagai wadah kebersamaan? Jangan salah, hutang bukan hanya angka di atas kertas, tetapi amanah yang harus ditunaikan. Hutang yang ditelantarkan adalah hak orang lain yang diabaikan.
Cobalah bercermin. Suatu hari, bapak dan ibu bisa saja berdiri di depan apel pagi ASN, berpidato tentang kedisiplinan dan integritas. Namun bagaimana lidah itu bisa fasih berbicara, jika di belakang masih menyisakan kewajiban yang tak pernah diselesaikan? Kata-kata muluk akan terasa hampa, bahkan berbalik menjadi cermin kemunafikan.
Ingatlah, dunia ini hanya sementara. Tidak ada hutang yang bisa dibawa mati. Di liang kubur nanti, akan ada malaikat yang menagih, bukan lagi pengurus koperasi. Hutang tetaplah hutang. Ia akan menunggu untuk diselesaikan, entah di dunia atau di akhirat.
Kembalilah ke jalan yang benar, sebelum semuanya terlambat. Lunasilah kewajiban itu dengan ikhlas, karena cepat atau lambat, semuanya akan ditagih juga. Jangan biarkan karma menimpa generasi penerus bapak dan ibu hanya karena kelalaian hari ini.
Dan kalau rasa malu sudah benar-benar hilang, mungkin perlu jalan terakhir: daftar nama penunggak dicetak di baliho raksasa, dipajang di depan kantor bupati. Apakah harus begitu, baru bapak dan ibu terpaksa membayar hutang?
Astagfirullah al-‘azim. Semoga kesadaran datang sebelum kehormatan hancur.
Koperasi adalah wajah kebersamaan. Jika masih ada yang tega merusaknya dengan ingkar janji, maka sesungguhnya bukan koperasi yang lemah, melainkan nurani yang sudah kehilangan arah. (***)

Post a Comment