News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Kilas Sejarah Konflik Tanah Pemko Solok dengan Warga dan Instansi Lain

Kilas Sejarah Konflik Tanah Pemko Solok dengan Warga dan Instansi Lain

Kilas Sejarah Konflik Tanah Antara Pemko Solok dengan Warga dan Instansi Lain

Feodalisme Versus Norma Adat Minangkabau

Konflik tanah antara Pemko Solok dengan warga Kota Solok, ternyata bukan hal baru. Feodalisme sebagai penguasa daerah, sejak masa Pilkada langsung, semakin memuncak. Otonomi Daerah, seakan melahirkan raja-raja kecil di daerah. Namun, di Sumbar, termasuk Kota Solok, yang mayoritas daerah memegang teguh Adat Minangkabau, perlawanan itu begitu masif. 

Laporan RIJAL ISLAMY, Solok

Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah. Dalam masyarakat feodal, terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja dan para kerabatnya, serta para kepala daerah di masa kini. Antagonisme antara rakyat dengan para penguasa dan bangsawan, membuat friksi (gesekan) yang menjadikan "wong cilik" sebagai korbannya. 

Feodalisme diyakini bermula dan berasal di tanah Eropa pada abad pertengahan. Di masa itu, kekuasaan para raja-raja atas tanah dan tatanan kehidupan rakyat jelata, luar biasa dominan. Kaum proletar (rakyat jelata), mendapat tekanan, intimidasi dan berbagai himpitan hidup. Tidak hanya dari para raja dan keluarganya, tekanan itu juga berasal dari kaum agamais dengan doktrin-doktrin religiusitas. Ditambah intimidasi dari para ksatria atau sekarang jamak sebagai aparat penegak hukum (yudikatif). 

Feodalisme kemudian berkembang pesat setelah bangsa-bangsa Eropa, sebagai bangsa penjelajah, melakukan kolonialisasi ke benua lain, termasuk ke Indonesia. "Awetnya" penjajahan yang berlangsung ratusan tahun di tanah nusantara, tidak terlepas dari "suksesnya" doktrinisasi feodalisme ke tanah jajahan. Yakni kepada para raja-raja, tuan tanah, kesatria dan kaum bangsawan di daerah-daerah. Demi status quo, para borjuis (raja, tuan tanah, kesatria dan kaum bangsawan) itu rela mengabdi kepada penjajah dengan melakukan intimidasi ke kaumnya sendiri. Di Indonesia, mereka lekat dengan sebutan Londo Ireng, alias Belanda berkulit hitam (gelap).

Setelah Indonesia merdeka, ternyata feodalisme sama sekali tidak hilang, malah tumbuh makin subur. Hengkangnya Belanda, Jepang, Spanyol, Portugal dan Inggris dari bumi Nusantara, malah membuat feodalisme baru oleh para "borjuis lokal" semakin menjadi-jadi. Warisan doktrin dan buah penjajahan berupa penguasaan tanah dan sendi-sendi perekonomian para proletar, hanya beralih tuan. Dari penjajah ke penguasa pribumi. Kemerdekaan, ternyata hanyalah proklamasi untuk beralih tuan. 

Para Londo Ireng, yang hidup "aman" di era penjajahan, malah semakin nyaman di era kemerdekaan. Tuan mereka telah pergi dan kini, merekalah yang menjdi tuan. Mereka berkamuflase sebagai pahlawan dengan alibi-alibi cerdik. Semisal politikus moderat, pamong/birokrat yang dibutuhkan bangsa yang baru merdeka, hingga para kesatria seperti tentara, polisi, jaksa, hakim dan para ekonom. Padahal, mereka dulunya adalah pegawai Belanda, tentara KNIL bentukan Belanda, tentara PETA bentukan Jepang, para politikus yang "lunak" ke penjajah, dan para penguasa daerah yang dulunya menjalin kerja sama "baik" dengan penjajah. Mereka kompak melantunkan "Taubat Nasuha" dengan dalih "Mari membangun Indonesia baru yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, serta lepas dari belenggu penjajahan". Sementara, belenggu-belenggu penjajahan itu beralih tuan ke mereka.

Bung Karno (Presiden pertama, Ir. Soekarno) pernah berujar: "Perjuangan kami lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuangan kalian lebih susah karena akan melawan bangsamu sendiri". Bagi para proletar, pernyataan itu langsung terasa pada warisan-warisan yang ditinggalkan para penjajah. Semisal gedung-gedung pemerintahan yang diambil paksa penjajah di masa kolonial, sawah ladang dan hutan-hutan yang dijadikan rel kereta api berikut belasan meter kiri kanan milik perusahaan kereta api, bidang-bidang tanah di loksi strategis yang menjadi markas tentara dan polisi. Penguasaan tanah rakyat secara feodal itu tetap lestari, bahkan hingga kini. Tanah-tanah itu, tidak pernah dikembalikan ke rakyat sebagai pemiliknya.

Orde Lama, Orde Baru, Reformasi dan Pasca Reformasi yang menghiasi perjalanan bangsa ini, nilai-nilai feodalisme senantiasa lestari. Yang berbeda, hanyalah silih bergantinya sistem dan tuan, namun kelompok berjuisnya tetap langgeng.

Feodalisme Konflik Tanah di Kota Solok

Kota Solok, yang dimekarkan dari Kabupaten Solok pada 16 Desember 1970, yang menganut sistem Adat Minangkabau, jejak-jejak feodalisme berupa konflik tanah masyarakat tetap berlangsung dengan berbagai ritme. Riak-riak semakin meningkat sejak adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sejak tahun 2005. 

Sebagai daerah di wilayah tengah Sumatera Barat dan memegang teguh adat Minangkabau, Kota Solok menjadi salah satu daerah yang kental dengan norma-norma adat. Meski kondisi perekonomian Kota Solok terus berkembang di sektor perdagangan dan jasa, ditambah semakin heterogennya penduduk yang mendiami wilayah di segitiga emas Sumbar itu, norma-norma adat Minangkabau senantiasa terjaga.

Hukum positif (hukum negara) selama ini telah berdampingan secara "damai" dengan hukum adat. Hal ini disebabkan, antara hukum negara dan hukum adat Minangkabau sama-sama menghargai keberadaan masing-masing. Bahkan, sejumlah tanah yang awalnya milik masyarakat, yang kini di bawah penguasaan TNI, Polri dan instansi negara lainnya, tidak "diganggu" masyarakat adat Kota Solok.

Aturan bernegara berupa Undang-Undang Keagrariaan (pertanahan), sejumlah peraturan dari lembaga yudikatif terkait penyelesaian sengketa pertanahan, dan sejumlah aturan dari lembaga negara lainnya, ternyata tetap memiliki celah untuk timbulnya masalah. 

Sejak Pilkada Langsung pada tahun 2005, sejumlah kepala daerah di Kota Solok dihadapkan sejumlah permasalah menyangkut pertanahan. Jika dengan lembaga negara dan yudikatif selama ini tak ada masalah, justru dengan pemerintahan yang berkali terjadi konflik. 

Sejumlah kenyataan "tragis" harus ditanggung Pemko Solok, dengan sejumlah OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang hingga kini tidak memiliki kantor. Bahkan, Rumah Dinas Wakil Walikota Solok yang berada di depan SMPN 1 Kota Solok, hingga kini "menumpang" di tanah milik warga keturunan China. Sementara, sejumlah lahan dan bangunan di Kota Solok ternyata masih milik Pemprov Sumbar dan Pemkab Solok. Seperti Kantor Gubernur Pembantu Wilayah III yang kini "ditumpangi" Dinas Satpol PP dan Dinas Catatan Sipil, Kantor Balai Wilayah yang ditempati Dinas PUPR, serta sejumlah Ruko dan bangunan milik Pemkab Solok yang tak diserahkan ke Pemko Solok saat dimekarkan pada 16 Desember 1970.

Alih-alih menyelesaikan permasalahan tanah tersebut dengan Pemprov Sumbar maupun Pemkab Solok, pihak Pemko Solok justru menganggarkan dana untuk membeli tanah dari warga, maupun membangun sejumlah mega proyek bernilai miliaran rupiah. Hal itu, dalam perjalanannya menimbulkan masalah baru dan kemudian berlarut menjadi sengkarut.

Berikut ini, sekelumit kisah dan lintas sejarah konflik antara Pemko Solok dengan masyarakat:

Drs. H. Syamsu Rahim - Irzal Ilyas, MM (2005-2010)

Di masa ini, terjadi peristiwa yang cukup heboh. Yakni terciptanya istilah tanah konsolidasi di wilayah Kelurahan Nan Balimo, Laing, dan Kampung Jawa di Kecamatan Tanjung Harapan. Luasnya tak main-main, 240 hektare. Istilah konsolidasi muncul karena banyaknya pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah di area tersebut. Hingga kini, persoalan itu tak juga kunjung selesai. Disinyalir, permasalahan yang tak kunjung selesai itu karena banyaknya pihak yang terlibat, seperti ASN Pemko, pensiunan, mantan pejabat, niniak mamak, tokoh masyarakat, hingga pihak penegak hukum.

H. Irzal Ilyas, MM - H. Zul Elfian Umar, SH, M.Si (2010-2015)

Selain persoalan tanah konsolidasi yang tak selesai, sejumlah konflik tanah lainnya juga terjadi di Kota Solok. Seperti tukar guling lima bidang tanah milik Pemkab Solok yang berada di Kota Solok dengan pembangunan Gedung DPRD Kabupaten Solok, di Arosuka. Permasalahan ini terkatung-katung sangat lama. Bahkan, sampai membuat Gedung DPRD Kabupaten Solok rusak sebelum sempat dipakai. Persoalan baru tuntas di tahun 2022 lalu, setelah dilakukan mediasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI).

Persoalan tanah lainnya yang terjadi di tahun 2013, saat Pemkab Solok melelang Eks Rumah Dinas Bupati Solok di Jalan Sudirman, Kota Solok. Tanah yang terletak di dekat Pasaraya Solok, di samping Kantor BRI, di depan Kampus UMMY dan Taman Syech Kukut Kota Solok itu, dibeli oleh politisi muda yang menjadi senator Sumbar (DPD RI) periode 2014-2019, H. Nofi Candra, SE. 

H. Zul Elfian Umar, SH, M.Si - Reinier, ST, MM (2016-2021)

Selain persoalan tanah konsolidasi 240 hektare yang tak juga tuntas, sejumlah masalah pertanahan juga muncul di masa kepemimpinan Zul Elfian Umar - Reinier. Alih-alih menepati janjinya di masa kampanye untuk menuntaskan persoalan tanah konsolidasi, sejumlah persoalan tanah baru, malah timbul. Yang paling menyita perhatian adalah, persoalan tanah Pemko Solok di samping Lapangan Merdeka Solok. Pemko Solok membangun tribun Lapangan Merdeka Solok dengan meruntuhkan Hall Bulutangkis dan Lapangan Tenis Outdoor. Pembangunan tribun yang kemudian "diklaim" menjadi milik Kodim 0309/Solok itu, kemudian berujung ke ranah hukum. Bahkan sampai "menumbalkan" dua ASN Pemko Solok. Yakni Mantan Kadis PUPR Kota Solok, Jaralis, dan Kabid Syofiani (Adek). 

Di tahun 2017, persoalan tanah kembali menyeret salah satu pejabat eselon II Pemko Solok. Yakni Kadis Lingkungan Hidup Sukardi (Ayak), dalam masalah tanah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di kawasan Jalan Lingkar Utara. Kabar terbaru, Sukardi telah ditetapkan tersangka dan prosesnya saat ini sedang di Kejaksaan Negeri Solok. 

H. Zul Elfian Umar, SH, M.Si - Dr. H. Ramadhani Kirana Putra, SE, MM (2021-2025)

Selain kasus tanah konsolidasi dan persoalan tanah Tempat Pemakaman Umum (TPU), duet Zul Elfian - Ramadhani kembali dibebani masalah baru terkait sengketa tanah. Yakni blokade akses jalan masuk ke Stadion Marah Adin di Kelurahan Laing, Kecamatan Tanjung Harapan. Masyarakat Suku Chaniago dari Kaum Dt Rajo Langik memblokade satu-satunya jalan masuk ke Stadion yang namanya diambil dari nama Kakek Wakil Gubernur Sumbar, Audy Joinaldi. 

Kaum Dt Rajo Langik bahkan sudah dua kali memblokade akses jalan masuk ke Stadion Marah Adin. Pada Sabtu tanggal 11 Februari 2023 dengan menggunakan kayu dan bambu. Blokade ini kemudian dibongkar Tim Satuan Keamanan dan Ketertiban Kota (SK4) yang terdiri dari Satpol PP, Polres Solok Kota, Kodim 0309/Solok dan Polisi Militer Solok, pada Selasa (7/3/2023). Hanya berselang satu pekan, Kaum Dt Rajo Langik kembali memasang blokade. Kali ini, menggunakan material yang lebih kokoh, yakni menggunakan kayu dan seng. (***)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment