Netralitas Media Jelang Pemilu
Oleh: Mohammad Isa GautamaDosen Pengantar Jurnalistik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang
Netralitas media menjadi topik yang semakin hangat dibicarakan menjelang pesta demokrasi 2024. Berbagai harapan serta polemik bermunculan dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP), para politisi, partai politik, sampai pengamat politik. Rata-rata mereka menyerukan agar media menjaga netralitasnya. Ini, kata mereka lagi, penting dalam rangka menjaga proses demokrasi.
Pada kenyataannya, kondisi netral yang diorganisasikan oleh media, sejatinya sejak lama bukan tanpa dilema. Dilema itu dapat ditilik melalui dua dimensi, struktural dan kultural. Shoemaker dan Reese (1996) memaparkan, produk pemberitaan media dipengaruhi oleh setidaknya dua lapis hirarki. Pertama, lapis individual, yang meliputi unsur latar belakang dan karakteristik pekerja media (nilai personal jurnalis). Kedua, lapis routine practices yang mencakup keseharian pekerja media dalam pengaruh ruang redaksi.
Di sini timbul persoalan, dalam rangka menjalankan fungsi jurnalistik yang menekankan independensi, bagaimanakah media kemudian bekerja dalam “gangguan” dua lapis hirarki itu? Terlebih, dalam kontestasi politik, apa usaha media untuk tetap “kebal” di tengah “rayuan” dan “godaan” yang menghantamnya? Sementara, pakar sosiologi media telah mengingatkan mengenai potensi bias berita yang menggelayuti pemberitaan media.
Sudah banyak penelitian mengenai bias media, terutama dalam tinjauan analisis wacana berita. Kaum pos-positivisme bahkan meyakini, nyaris mustahil menemukan berita yang kadar biasnya nol persen. Setiap wacana dan berita yang ditulis media cenderung bias dan tidak menuliskan fakta dengan benar. Bias berita dipilih berdasarkan keinginan setiap jurnalis untuk tujuan dan maksud tertentu. Bias berita yang dibuat media berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya bahkan pertarungan agama (Eriyanto, 2011).
Itu baru masalah bias. Chomsky dan Herrman (1988) bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa media tidak mungkin bersikap netral. Dalam konteks ini, media bekerja melalui setidaknya empat filter. Pertama, kepemilikan media (media ownership). Sudah jadi rahasia umum, media besar sekaligus arus utama di Indonesia dikuasai oleh konglomerat kelas kakap. Mereka menguasai pasar media dan menjadikan medianya sebagai alat dalam rangka memuluskan beragam kepentingan. Kedua, pengiklan (advertising money) yang digunakan untuk pembiayaan organisasi media sekaligus pemasaran bagi pengiklan itu sendiri.
Ketiga, kelompok elite (media elites) yang mengontrol redaksi atau narasi berita berdasarkan sumber-sumber tertentu. Keempat, flack and the enforcers yaitu ancaman serta aturan tertentu yang ditetapkan terhadap jurnalis dalam membuat berita. Berangkat dari keempat hal itu, secara struktural netralitas media tentu saja berpotensi nihil. Pekerja media sangat potensial terjepit di tengah-tengah empat variabel yang mengunci mereka.
Menghadapi tantangan yang maha berat tersebut, apalagi di tengah kondisi kompetisi kepentingan politik di momen Pemilu, media tentu harus mau introspeksi dan melakukan refleksi. Tahapan berikutnya, media harus memiliki strategi efektif dalam rangka melakukan pencerahan di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, media sejatinya harus kembali mengkaji hakikat keberadaannya. Media mesti ingat, ia lahir dari rahim masyarakat. Secara sosiologis, tidak ada satu pun media yang tidak berasal dari khalayak umum yang mengawali mimpi dan harapannya dengan gambaran kondisi masyarakat yang harmonis sekaligus partisipatif.
Meminjam teori ruang publik Habermas (2006), media sesungguhnya merupakan wujud transformatif dari ruang publik. Ruang publik yang ideal berfungsi sebagai sarana berkumpul, berdiskusi, dan berekspresi secara bebas dalam melayani kepentingan umum, termasuk untuk bisnis, birokrasi, politik, kebudayaan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Habermas mengarahkan media bukan sebagai perpanjangan tangan penguasa dalam menyampaikan agendanya kepada masyarakat. Sebaliknya, media sebagai ruang publik harus membuka diri menjadi mediator penyaluran aspirasi khalayak kepada penguasa.
Berpijak dari hal di atas, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel juga sudah lama mengingatkan punggawa media (baca: jurnalis) melalui konsep yang dipakai di seluruh dunia, yaitu 10 elemen jurnalisme. Dalam kajiannya, Kovach dan Rosenstiel mengedepankan pentingnya kebenaran sebagai “kiblat” pertama para jurnalis dalam menjalankan tugas profesionalnya. Ini berarti, pembaca (baca: masyarakat) mesti disuguhi berita yang tidak saja akurat, namun juga kebenaran praktis dan fungsional, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan.
Sementara itu, di urutan keempat dari 10 elemen dasar jurnalisme itu, Kovach dan Rosenstiel menekankan pentingnya independensi. Menurut banyak pakar jurnalistik, independensi lebih luas dan dalam ketimbang sikap netral. Independensi mensyaratkan tidak hanya sikap untuk tidak berpihak kepada kepentingan tertentu, namun juga menjaga jarak dan menyuburkan integritas saat berhadapan dengan sumber beritanya. Jika pun ingin menyuarakan opini pribadi, jurnalis tetap diberi kekebasan menuliskannya, namun tidak sebagai representasi media di mana ia bekerja, melainkan secara personal.
Ditinjau secara yuridis, media di negeri kita tidak pula harus bingung menentukan sikapnya menghadapi persoalan netralitas di tengah pusaran kepentingan politik. Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) cukup jelas dan tegas diterangkan mengenai masalah ini. Bisa dibaca langsung di Pasal 1 KEJ yang menyatakan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Selanjutnya media juga wajib menyadari fungsi dan tanggung jawabnya yang melekat saat ia bekerja menjalankan tugas-tugas profesinya. Sekali lagi dalam tinjauan yuridis, pada Undang-Undang Pers, pasal 3 ayat 1 juga jelas disebutkan bahwa “pers berfungsi sebagai sarana edukasi, hiburan, informasi dan kontrol sosial”. Di sini, ada kata kuncinya berupa “edukasi”, di mana media tentunya harus selalu menjalankan agenda mendidik masyarakat. Secara implisit, media adalah juga “guru” yang segala gerak-geriknya patut digugu dan ditiru. Tentunya guru yang baik adalah yang mengedukasi hal-hal positif, bukan berita bias apalagi bohong ke tengah khalayak.
Terakhir, dibutuhkan peningkatan media literasi tak henti di segala kalangan. Menurut White (2013), literasi media adalah segala usaha dan aktivitas yang menggambarkan seperangkat keterampilan khalayak untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi dari berbagai media. Hal tersebut urgen untuk membedakan mana yang fakta-informatif, mana yang hanya sekadar hiburan atau bahkan hoax. [*]
Post a Comment