News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Bupati Solok Tak Mau Bayar Proyek THKW, Pj Sekda Justru Sebut Karena Pemerintah Pusat Lakukan Refocusing Anggaran

Bupati Solok Tak Mau Bayar Proyek THKW, Pj Sekda Justru Sebut Karena Pemerintah Pusat Lakukan Refocusing Anggaran

Pj Sekda Medison: Karena pemerintah pusat minta refocusing anggaran untuk pembelian vaksin dan tunjangan tenaga kesehatan

SOLOK - Setelah Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kabupaten Solok Editiawarman yang membuat pernyataan "janggal" terkait pembayaran kontrak pembangunan Taman Hutan Kota Wisata (THKW) Arosuka, kali ini, Pejabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Medison, S.Sos, M.Si, juga ikut membuat pernyataan janggal. Jika Kepala BKD Editiawarman menyatakan bahwa pembayaran di atas Rp200 juta harus mengantongi "izin prinsip" dari Bupati Epyardi Asda, Pj Sekda Medison justru mengatakan bahwa belum dibayarnya sisa kontrak kepada rekanan PT Nabel Utama Karya, adalah karena kehati-hatian Bupati Epyardi Asda dalam penggunaan keuangan daerah. 

Medison juga mengatakan bahwa belum dibayarnya uang sisa kontrak PT Nabel Utama Karya, karena finishing pembangunan THKW Arosuka, bertepatan dengan refocusing anggaran Kabupaten Solok tahun 2020. Meski begitu, mantan Asisten 2 Pemkab Solok tersebut mengakui bahwa pada tahun anggaran 2020, Pemkab Solok di masa Bupati Gusmal Dt Rajo Lelo telah menganggarkan pembayaran kontrak senilai hampir Rp1,3 miliar. Medison bahkan beralasan, bahwa pembayaran ini urung terjadi karena pemerintah pusat meminta daerah melakukan refocusing anggaran untuk pembelian vaksin dan tunjangan tenaga kesehatan.

"Pembayaran kepada rekanan PT Nabel Utama Karya sudah dianggarkan pada tahun anggaran 2020. Namun, karena ada refocusing, seluruh anggaran daerah ditarik oleh pusat untuk penanganan Covid-19. Karena seluruh anggaran daerah ditarik, menyebabkan seluruh kegiatan daerah tertunda. Pada tahun 2021, Pemkab Solok kembali menganggarkan pembayaran kepada rekanan PT Nabel Utama Karya, tapi pemerintah pusat kembali meminta daerah untuk melakukan refocusing anggaran untuk pembelian vaksin dan tunjangan tenaga kesehatan," ujarnya kepada salah satu media online.

Pj Sekda Medison juga menyatakan bahwa Bupati Epyardi Asda ekstra hati-hati dalam pembayaran ini. Sebab menurutnya, pengerjaan proyek THKW Arosuka bukan di masa pemerintahannya. Medison bahkan juga membuat pernyataan, bahwa pergantian pejabat di OPD Pemkab Solok, turut mempengaruhi sistem pembayaran. Yakni adanya pergantian Pejabat Pelaksanaan Teknis Kegiatan (PPTK), Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di sejumlah OPD. 

"Jadi soal tudingan penyalahgunaan jabatan atau ingkar janji (wanprestasi) kepada Bupati Epyardi Asda, adalah tidak tepat. Beliau baru menjalankan pemerintahan dalam hitungan bulan. Tentu saja Bupati ekstra hati-hati soal penggunaan keuangan daerah, apalagi pengerjaan pembangunan tersebut bukan di masa pemerintahannya. Bupati perlu memastikan prosedur ini berjalan sesuai dengan aturan. Bupati tidak mau gegabah dalam hal penggunaan keuangan daerah. Dan Bupati juga sudah menugaskan inspektorat daerah untuk melakukan cek fisik dan verifikasi, terhadap utang-utang di kegiatan fisik yang dibiayai dari APBD Kabupaten Solok, tahun anggaran 2019 yang belum dibayarkan," ujar Medison.

Epyardi Asda Dilaporkan ke KPK RI, Ombudsman RI dan Disomasi PT Nabel Utama Karya

Akibat tidak mau membayarkan uang sisa kontrak pengerjaan THKW Arosuka, Bupati Solok, Capt. Epyardi Asda, M.Mar, disomasi oleh Kuasa Hukum PT Nabel Utama Karya dari Kantor Hukum Syafardi Atmaja, SH, MH & Partners. Selain somasi, Syafardi Atmaja juga melaporkan Epyardi Asda ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI pada Selasa (9/11/2021) dan Ombudsman RI pada Kamis (11/11/2021). Jika pelaporan ke KPK RI terkait penyalahgunaan wewenang (abuse of power), pelaporan ke Ombudsman RI dilakukan karena Epyardi dinilai telah melakukan maladministrasi. Hal ini terkait penolakan Epyardi terhadap pembayaran sisa kontrak proyek pembangunan Taman Hutan Kota Wisata (THKW) Arosuka, Kabupaten Solok. 

Syafardi Atmaja menegaskan, pihaknya memiliki bukti dokumen berupa surat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Solok nomor 650/720/PUPR-2021, perihal klarifikasi dari somasi yang dilayangkan Kantor Hukum Syafardi Atmaja, SH, MH & Partners, pada Jumat 5 November 2021. Surat yang dikirim PUPR Pemkab Solok ini berisi 6 poin, dengan, kesimpulan dari surat tersebut, bahwa tetap harus ada izin prinsip dari Bupati untuk pembayaran sisa kontrak.

Dodi Hendra: Jangan Menganiaya dan Membuat Investor Lari dari Kabupaten Solok

Ketua DPRD Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Dodi Hendra, ikut angkat bicara terkait tidak dibayarnya proyek pembangunan Taman Hutan Kota Wisata (THKW) Arosuka, oleh Pemkab Solok, pada kontraktor PT Nabel Utama Karya. Politisi Partai Gerindra tersebut menilai Pemkab Solok telah berbuat aniaya terhadap kontraktor/rekanan yang telah selesai 100 persen mengerjakan proyek tersebut. Dodi mengharapkan agar hal ini jangan sampai membuat iklim iklim investasi di Kabupaten Solok terganggu.

"Jangan menganiaya orang. Kontraktor tersebut sudah menyelesaikan kewajibannya sesuai kontrak. Artinya, mereka mesti mendapatkan apa yang menjadi haknya. Jika hak mereka tidak dipenuhi, ini akan menjadi preseden buruk terhadap investor dan iklim investasi di Kabupaten Solok. Bahwa ada sebuah proyek yang sudah selesai, tapi tak dibayar," ungkapnya.

Dodi Hendra meminta Bupati Solok saat ini, Epyardi Asda, tidak berkilah dengan menyatakan hal ini adalah program dari pemerintahan sebelumnya. Sehingga, dijadikan alasan untuk tidak membayar proyek pembangunan yang sudah selesai tersebut. Dodi menegaskan, kontrak rekanan/kontraktor tersebut adalah dengan Pemkab Solok, bukan dengan pribadi Bupati Solok. Bahkan, Dodi mengingatkan bahwa bupati adalah sebuah jabatan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang harus tunduk terhadap regulasi dan aturan. 

"Bupati tahun 2021, Bupati tahun 2016, ataupun Bupati tahun 2001, itu sama. Jika pemerintahan di tahun 2001 berutang, lalu ditagih di tahun 2021, maka tetap harus membayar. Kecuali, yang berutang itu pribadi, maka pembayarannya secara pribadi juga. Jadi, jangan berkilah tak mau membayar, dengan beralasan dan mempertanyakan apa urgensi dan manfaat dari proyek itu. Sebab, itu dua masalah yang berbeda. Yang satu masalah aturan, yang satu lagi masalah kebijakan politis," tegasnya. 

Dodi Hendra juga mengharapkan, sebagai tokoh politik berlevel nasional, Epyardi Asda bisa memilah dan memisahkan antara persoalan pribadi dengan persoalan pemerintahan. Termasuk, dengan pemerintahan sebelumnya yang dinilainya ada yang tidak sesuai dengan konsepnya.

"Jika masalah Bupati lama yang terkait dengan pemerintahan, tentu saat ini yang menyelesaikan adalah Bupati saat ini. Tapi jika masalah Pak Gusmal, Pak Syamsu Rahim, Pak Gamawan Fauzi, ataupun yang lainnya, tentu bukan Pak Epyardi Asda yang akan menyelesaikan. Jadi, marilah jaga kondusivitas di Kabupaten Solok ini, dengan berjalan sesuai regulasi dan aturan yang ada. Serta menjalankan semuanya sesuai Tupoksi masing-masing," ungkapnya. 

Epyardi: Apa Urgensi dan Manfaat THKW?

Sebelumnya, Bupati Solok, Capt. Epyardi Asda, M.Mar, akhirnya angkat bicara terkait dirinya yang dinilai tidak mau membayar sisa kontrak proyek pengerjaan Taman Hutan Kota Wisata (THKW) Arosuka, kepada kontraktor PT Nabel Utama Karya. Epyardi menduga, proyek di masa Bupati Solok Gusmal tersebut bermasalah. Menurut Epyardi, dengan permasalahan itu, pihaknya tidak ingin terburu-buru untuk mengambil sikap. Hal itu ditegaskan Epyardi ke sejumlah media online, setelah dirinya diberitakan tidak mau membayar dan mengusir Kuasa Hukum PT Nabel Utama Karya saat menemui dirinya di ruangannya pada Senin (1/10/2021). 

Bahkan, Epyardi Asda berkilah dan mempertanyakan urgensi proyek THKW yang dikerjakan oleh pemerintahan sebelumnya. Disebutkan Epyardi, masyarakat Kabupaten Solok hidup dengan segala kesusahan, dan mempertanyakan azas manfaat dari THKW tersebut. Epyardi menyatakan akan menyelidiki proyek THKW ini dengan Satgas Evaluasi dan Pengawasan Proyek, bahkan akan melibatkan kepolisian, kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI).

"Ini adalah uang rakyat dan harus jelas kegunaannya. Seperti THKW, apa urgensinya serta apa azas manfaatnya untuk rakyat. Dengan anggaran mencapai puluhan miliar rupiah, sementara rakyat Kabupaten Solok hidup dengan segala kesusahannya. THKW Arosuka adalah proyek yang terakhir dilaksanakan pada tahun 2019 kenapa dibayarkan pada tahun 2021? Ini ada apa kalau tidak bermasalah. Kita akan selidiki, ada gak permainan disini. Kita akan minta pihak kepolisian, kejaksaan dan bahkan KPK untuk menyelesaikan masalah ini," tegas Bupati.

Menanggapi hal ini, Kuasa Hukum PT Nabel Utama Karya, Syafardi Atmaja, SH, MH, menyatakan apa yang dilontarkan Epyardi Asda tersebut tidak logis dan ada upaya membelokkan permasalahan ini ke ranah politik. Syafardi Atmaja menegaskan, dirinya sebagai kuasa hukum dari kontraktor yang mengerjakan proyek pembangunan THKW, fokus pada tidak adanya pembayaran oleh Pemkab Solok, terhadap proyek yang telah dikerjakan kliennya. Terkait persoalan Bupati Solok saat ini, Epyardi Asda dengan kebijakan Bupati Solok sebelumnya, Gusmal, SE, MM, hal itu sama sekali di luar urusannya.

"Sama sekali tidak logis. Logikanya sangat sederhana, karena masalahmya sangat-sangat jelas, bahwa klien kami hanya menuntut hak terhadap pekerjaan yang telah selesai dikerjakannya. Klien kami sudah bekerja sesuai kontrak dan pekerjaannya sudah selesai, tapi Pemkab Solok tidak membayar. Sesederhana itu. Bukan seperti yang dikatakan Pak Epyardi Asda, terkait azas manfaat, apalagi terkait penilaian beliau terhadap kebijakan Bupati Solok sebelumnya. Lalu, apakah salah, jika klien kami menuntut haknya?," ungkap Syafardi.

Syafardi juga menyatakan, hal ini merupakan sebuah pelajaran besar bagi investor yang ingin menanamkan investasinya, atau kontraktor yang mengerjakan proyek di Kabupaten Solok. Bahkan, Syafardi mengingatkan bahwa kontrak kliennya sebagai rekanan adalah dengan Pemkab Solok sebagai institusi, bukan dengan pribadi Bupati Solok Epyardi Asda ataupun dengan Bupati Solok sebelumnya, Gusmal, SE, MM. Sehingga, tidak ada alasan bagi Epyardi Asda sebagai pribadi, untuk berkilah dengan politiknya, atau hal lain terkait dengan pribadi bupati sebelumnya.

"Rasanya, kita sama-sama paham, bahwa hubungan atau kontrak kerja klien kami adalah dengan Pemkab Solok. Bukan dengan pribadi-pribadi. Sekali lagi, fokus kami jelas, yakni menuntut hak klien kami terhadap pekerjaan yang sudah diselesaikan. Klien kami telah mengikuti seluruh prosedur dan mencukupi segala persyaratan. Mulai dari tender, pengerjaan, hingga segala administrasi. Saat pekerjaan itu terlambat selesai, klien kami sudah membayar denda. Bahkan hingga pembayaran terkit adanya temuan BPK. Semuanya sudah kami penuhi," ungkapnya.

BKD: Di Atas Rp200 Juta harus Ada Izin Prinsip dari Bupati Epyardi Asda

Syafardi Atmaja juga menyatakan bahwa pada hari Senin, tanggal 1 November 2021, dirinya sebagai Kuasa Hukum PT Utama Karya, telah menghadap pada Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kabupaten Solok, Editiawarman, untuk menanyakan perihal kewajiban Pemkab Solok terkait proyek yang sudah selesai tersebut. Kepala BKD, Editiawarman menyatakan bahwa untuk pembayaran tersebut, harus ada izin prinsip/persetujuan dari Bupati Solok Epyardi Asda.

Editiawarman menyatakan, hal karena nilai yang harus dibayar oleh Pemkab Solok di atas Rp200 juta. Heran dan tak puas dengan pernyataan Kepala BKD tersebut, Syafardi Atmaja menanyakan apakah ada Peraturan Bupati (Perbup) Solok terkait hal itu, dan dijawab oleh Editiawarman tidak ada. Bahkan, Editiawarman menyuruh Syafardi untuk menghadap langsung Bupati Solok Epyardi Asda.

"Kata Kepala BKD, uang untuk sisa pembayaran itu sudah dianggarkan dalam refocusing anggaran Pemkab Solok. Namun, kata beliau, untuk pencairannya harus ada izin prinsip dari Bupati. Katanya, jika di atas Rp200 juta, harus ada izin prinsip dari Bupati Solok. Ini sama sekali tidak pernah saya temui dimanapun selama ini. Katanya semua kontraktor harus menghadap bupati. Apa tujuannya? Ini ilmu baru bagi saya," ujar Syafardi.

Diusir Epyardi Asda

Setelah bertemu Kepala BKD Editiawarman, di hari yang sama (Senin, 1 November 2021), Syafardi kemudian menemui Bupati Epyardi Asda di ruangannya. Setelah menunggu sekitar satu jam, sekira pukul 14.30 WIB, akhirnya bertemu. Meski mengaku telah memperkenalkan diri dengan sopan, dan kemudian mempertanyakan kewajiban Pemkab Solok terkait proyek THKW, Syafardi menyatakan Epyardi Asda menjawabnya dengan ketus. 

"Beliau menanyakan, Hutan yang mana? Lalu kami jawab THKW di samping rumah Dinas Bupati. Kemudian beliau kembali bertanya siapa yang berutang, kami jawab Pemkab Solok. Beliau malah menyatakan; Tidak ada itu," ujar Syafardi menirukan pembicaraan di ruangan Bupati Solok.

Syafardi kemudian menuturkan bahwa setelah dirinya menjelaskan bahwa semua persyaratan/administrasi dan dokumen sudah lengkap di BKD Kabupaten Solok, Epyardi Asda langsung dengan nada tinggi dan menunjuk-nunjuk muka Syafardi dan menanyakan apakah dirinya kontraktor. Lalu dijawab Syafardi bahwa dirinya adalah Kuasa Hukum PT Nabel Utama Karya. Dengan tetap menunjuk-nunjuk muka Syafardi, Epyardi berkata; 

"Hebat kalian bawa-bawa pengacara. Saya akan penjarakan yang memberikan pekerjaan pada anda. Ajudan, suruh mereka keluar, emangnya dia siapa mengancam-ancam bupati," ujar Epyardi seperti ditirukan Syafardi. 

Syafardi menyatakan dirinya sangat kecewa dengan sikap dan perlakuan Epyardi Asda terhadap dirinya. Menurutnya, sebagai figur publik, Epyardi seharusnya bisa menghargai profesi advokat, yang pekerjaannya diatur dan dilindungi undang-undang.  

"Epyardi Asda adalah seorang kepala daerah atau pemimpin daerah, tidak pantas bersikap arogan kepada kami sebagai advokat yang menjalankan tugas profesi untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya. Kami menghadap beliau dengan sopan, dengan berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Tindakan Epyardi Asda kepada kami adalah perbuatan melawan hukum pidana, atau persekusi kepada kami," ujarnya.

Sebelumnya, Bupati Solok Capt. Epyardi Asda, M.Mar, disomasi oleh rekanan PT Nabel Utama Karya, pelaksana proyek Taman Hutan Kota Wisata (THKW), karena tidak mau membayarkan sisa kontrak pembangunan, yang telah selesai dikerjakan sejak tahun 2020 lalu. Jumlah yang belum dibayarkan oleh Pemkab Solok, sebanyak Rp1.290.271.868, dari nilai proyek Rp6.702.711.000. Terdiri dari pembayaran termyn 95 persen sebesar Rp955.136.318, dan retensi (perawatan selama 6 bulan) 5 persen sebesar Rp335.135.550.

Kuasa Hukum PT Nabel Utama Karya dari Kantor Hukum Syafardi Atmaja, S.H, M.H & Partners, menyatakan pihaknya terpaksa melakukan tindakan somasi terhadap Bupati Solok Capt. Epyardi Asda, M.Mar, karena dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap kliennya, berupa tindakan wanprestasi (ingkar janji). Karena Pemkab Solok dinilai tidak mau menunaikan kewajiban terhadap hak-hak kliennya pada proyek yang sudah diselesaikan. Syafardi Atmaja juga menegaskan pihaknya akan melaporkan hal ini ke aparat penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI).

"Kami terpaksa melakukan somasi ke Epyardi Asda, karena sebagai Bupati Solok telah melakukan tindakan melawan hukum, dengan tidak mau membayarkan hak-hak klien kami. Jika hal ini tidak juga diselesaikan, maka kami juga akan melaporkan ini ke aparat penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK RI. Kami juga akan menuntut kerugian materil dan imateril terhadap klien kami, sebagaimana menurut hukum positif yang berlaku di Negara Republik Indonesia," ungkapnya.

Kronologis

Syafardi Atmaja menuturkan, persoalan ini berawal saat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Solok yang saat itu dipimpin oleh Effia Vivi Fortuna Ahadi Destri, ST, MM, melaksanakan kontrak pekerjaan pembangunan Taman Hutan Kota Wisata (THKW) di Arosuka dengan Joniadi selaku Direktur PT Nabel Utama Karya, dengan nomor surat perjanjian 650/1011/KPA-TR/PUPR-2019 tanggal 17 Juli 2019. Kontrak di masa pemerintahan Bupati-Wakil Bupati Gusmal Dt Rajo Lelo dan Yulfadri Nurdin, SH dilakukan tiga kali amandemen kontrak, yakni pada 3 Desember 2019, 26 Desember 2019, dan 23 Januari 2020. 

Pada tanggal 8 Februari 2020, telah tercapai bobot pekerjaan 100 persen dan telah dilakukan Serah Terima Hasil Pekerjaan (PHO), sebagaimana berita acara Nomor: 900/3222/SP/KPA-TR/DPUPR-2020 tanggal 14 Februari 2020. Pada tanggal 13 Agustus 2020 dilakukan Serah Terima Hasil Pekerjaan Akhir (PHO), yang menyatakan PT Nabel Utama Karya telah menyelesaikan masa pemeliharaan proyek tersebut. Karena proyek yang seharusnya selesai pada tahun anggaran 2019, namun baru selesai pada awal tahun 2020, PT Nabel Utama Karya dikenakan denda, dan denda tersebut sudah disetorkan ke kas daerah. Termasuk temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tanggal 23 Desember 2020.

Pada tanggal 24 September 2021, PT Nabel Utama Karya mengajukan permohonan pembayaran termyn 95 persen sebesar Rp955.136.318 dengan berita acara pembayaran nomor: 900/113/KPA-TR/PUPR-2021, dan retensi (perawatan selama 6 bulan) 5 persen sebesar Rp335.135.550 dengan berita acara pembayaran nomor: 900/114/KPA-TR/PUPR-2021. Namun, dana yang seharusnya ditransfer dalam tiga hari tersebut, ternyata tak kunjung ditransfer oleh Badan Keuangan Daerah (BKD) Kabupaten Solok. Saat itu, BKD beralasan bahwa surat perintah membayar itu sudah kedaluarsa atau lewat waktu.

Pada tanggal 27 Oktober 2021, PT Nabel Utama Karya kembali mengajukan permohonan pembayaran termyn 95 persen dan retensi 5 persen ke Dinas PUPR. Dinas PUPR mengeluarkan Berita Acara Pembayaran Nomor: 900/163/KPA-TR/PUPR-2021. Namun, setelah menunggu selama tiga hari, BKD tidak juga melakukan transfer dana. (PN-001)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment